Paradoks hedonisme
Tampilan
Paradoks hedonisme, juga disebut paradoks kesenangan, mengacu pada kesulitan praktis yang dihadapi dalam mengejar kesenangan. Bagi kaum hedonis, pencarian kesenangan terus-menerus justru tidak menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang nyata dalam jangka panjang—atau bahkan dalam jangka pendek. Ketika hasrat mereka untuk mengejar kesenangan justru membuat mereka tidak bisa merasakan kesenangan yang sesungguhnya.
Filsuf utilitarian Henry Sidgwick pertama kali mengungkapkan istilah ini dalam The Methods of Ethics, ia menyatakan bahwa paradoks hedonisme menunjukkan bahwa kesenangan tidak dapat diperoleh secara langsung.[1] Variasi dan kajian lain tentang paradoks hedonisme juga dibahas pada ranah etika, filsafat, psikologi, dan ekonomi.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Paradox of Hedonism". The Sophist Society. 4 May 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2017. Diakses tanggal 2013-04-24.
Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Aristotle, Nicomachean Ethics 1175, 3–6 in The Basic Works of Aristotle, Richard McKeon ed. (New York: Random House, 1941)
- John Stuart Mill, Autobiography in The Harvard Classics, Vol. 25, Charles Eliot Norton, ed. (New York: P. F. Collier & Son Company, 1909)
- Henry Sidgwick, The Methods of Ethics (London: Macmillan & Co. Ltd., 1874/1963)
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Konow, James, & Joseph Earley. "The Hedonistic Paradox: Is homo economicus happier?" Journal of Public Economics 92, 2008.